Rabu, Ogos 10, 2011

ML (Making Love) sebelum berbuka puasa?


Apa jadinya jika seseorang terlanjur ML (Making Love) sebelum berbuka puasa? Apakah batal puasanya? Lantas apa yang harus ia lakukan? Lantas bagaimana kalau yang melakukannya seorang musafir?
Mari kita simak penuturan Abu Hurairah رضي الله عنه berikut ini: “Tatkala kami sedang duduk di dekat Nabi صلى الله عليه وسلم, datanglah seorang lelaki kepada beliau lalu berkata, ‘Binasalah aku, wahai Rasulullah! ’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu binasa? ’ Lelaki itu menjawab, ‘Aku telah menggauli (menyetubuhi) istriku di bulan Ramadhan, padahal aku berpuasa! ’ Beliau bertanya, ‘Apakah kamu mampu membebaskan budak? ’. Ia menjawab, ‘Tidak. ’ Beliau bertanya, ‘Apakah kamu sanggup puasa dua bulan berturut-turut? ’ Ia menjawab, ‘Tidak. ’ Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin? ’ Ia menjawab, ‘Tidak. ’ Nabi صلى الله عليه وسلم pun terdiam. Tatkala itulah ada seseorang yang memberikan kepada beliau sekeranjang kurma. Beliau pun berkata, ‘Mana yang tanya tadi? ’ Lelaki itu berkata, ‘Ya, saya. ’ Beliau bersabda, ‘Ambil ini lalu sedekahkanlah. ’ Lelaki itu berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih miskin dibandingkan saya, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di antara dua bukit Madinah ini, keluarga yang lebih miskin dibandingkan keluargaku. ’ Nabi صلى الله عليه وسلم pun tertawa hingga terlihat gigi taringnya. ‘Ya sudah, berikan itu untuk keluargamu,’ Kata beliau. (HR. Bukhari no.1834 dan Muslim no.1111)
Ada beberapa faidah dan kandungan hukum yang bisa kita petik dari hadits di atas, di antaranya:
1.Berdasarkan perkataan pria di atas :“Aku telah menggauli (menyetubuhi) istriku di bulan Ramadhan, padahal aku berpuasa. “ bisa diambil hukum bahwa wajib bagi seseorang untuk menunaikan kafarat jika terpenuhi padanya tiga syarat:
a) Bersenggama
Artinya, jika ia melakukan selain itu, entah itu petting, foreplay, atau yang semisalnya selama tidak sampai mengakibatkan “timba masuk sumur”, tak ada kewajiban atasnya untuk membayar kafarat.
Akan tetapi, bukan berarti, ini anjuran untuk melakukan semua itu (perkara selain senggama yang telah disebutkan). Karena, dikhawatirkan dari yang seperti itu akan mengantarkan ke persenggamaan. Makanya Nabi صلى الله عليه وسلم pernah melarang seorang pemuda untuk bercumbu (dengan istrinya). Sedangkan dalam kesempatan lain beliau justru mengizinkan orang yang sudah tua untuk melakukan itu (HR. Abu Daud).
Sebab, berbeda bukan, gejolak syahwat seorang pemuda dengan seorang tua renta? Seorang pemuda tatkala bercumbu dikhawatirkan tak kuat menahan dirinya, sehingga terjadilah yang terjadi. Sedangkan seorang yang tua-keumumannya-mampu menahan dirinya.
b) Melakukannya di siang hari bulan Ramadhan.
Artinya, jika ia melakukan ML di selain waktu fajar sampai maghrib, tak batal puasanya dan juga tidak wajib membayar kafarat. Bahkan itu sesuatu yang dibolehkan.
“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian; mereka adalah Pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, Karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi ma’af kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kalian..” (QS. Al-Baqarah:187)
c) Dalam keadaan berpuasa.
Artinya, jika seseorang tidak dalam keadaan puasa karena adanya uzur yang diizinkan syariat, seperti sakit, musafir dan lain-lain, lalu melakukan hubungan suami istri, tidak ada kewajiban atasnya untuk membayar kafarat, karena itu sesuatu yang diperbolehkan baginya.
2. Berdasarkan pertanyaan Nabi: “Apakah kamu mampu membebaskan budak?” Lalu “Sanggup puasa dua bulan berturut-turut?” lalu “Mampu memberi makan enam puluh orang miskin?”
Bisa dipetik hukum bahwa wajib menunaikan kafarat secara berurutan. Dimulai dengan membebaskan budak. Jika tak dapat atau tak mampu, berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tak mampu, memberi makan kepada enam puluh orang miskin.
3. Yang diwajibkan untuk menunaikan kafarat di sini hanyalah suami sedangkan istri tidak dibebani itu. Sebab, seandainya istri itu wajib pula membayar kafarat, niscaya Nabi صلى الله عليه وسلم memerintahkan lelaki di atas agar menyuruh istrinya membayar kafarat juga. Dan ternyata dalam hadits di atas, Nabi tidaklah memerintahkan untuk membayar kafarat melainkan hanya kepada pria itu saja.
Wallahu a’lam..

Tiada ulasan:

Catat Ulasan